Kamis, 19 Januari 2012

Aku (part 1)

                                                                                                                Jogjakarta, 13 november 2011
Part I
                Hujan telah membasahi tanah jogja yang tadi siang terasa sangat gersang sekali. Aku (19 tahun) masih saja mengurung diri dikamar kost sederhana, tetap memandang komputer tiada henti, sejenak berhenti karena terdengar kriuk pada bagian tubuhku yang sepertinya tidak sabar untuk menyuap nasi tanpa memilih lauk yang istimewa ataupun sederhana. Terpenting perut ini terisi dengan cukup.
                Saat ini aku ingin hidup penuh dengan kesederhanaan. Karena sederhana tidak akan menuntut banyak buat diri ku sendiri, kesederhanaan membuat aku lebih baik. Dulu, aku bak seorang wanita yang tidak tahu diri, tidak mengerti akan arti dari rasa “syukur” dan aku juga seorang wanita tidak pernah memikirkan kondisi keberadaan saat berpijak, hanya memikirkan hasrat untuk memiliki. Hingga saat aku berpijak di Jogjakarta, aku tak lagi dapat mensia-sia kan sesuatu yang ada dihadapan ku, sekecil apapun. Yaa… urusan makan saja, aku harus menerima nasi yang kemarin, perak, keras, dan bagi ku, itu sangat tidak menyenangkan. Bahkan lauk yang tersajikan diwarung-warung kecil hanya sayur. Hmmm… entah, layak atau tidaknya makanan  itu disantap. Tak ada seorangpun yang dapat mendengarkan keluh ku , kanapa? Karena aku takut, takut dibilang “wanita manja”. Tapi memang seperti inilah aku dahulu.
                Hingga kondisi yang merubah ku menjadi lebih mengerti. Nasi perak yang bagi ku tidak menyenangkan untuk suapan ku. saat ini, begitu menyenangkan. Lauk yang hanya sayur layu, bagi ku ini sangatlah nikmat ketika memakannya bersama seorang teman yang mangajarkan arti kehidupan. Perlahan aku merubah semua tata cara hidupku, walau tak seperti pesulap merubah sobekan kertas menjadi burung. Semua ku niatkan dengan mengucapkan “bismillah”.
                Perubahan ku ternyata tidak mulus dengan niat ku. Terkadang teman dapat memberikan suatu yang bermakna bagi ku, tetapi teman dapat juga menghancurkan niat ku yang baik – semoga Tuhan sudah memberikan penilaian sedikit dengan niat ku yang terjebak akan rayuan.
Mulailah aku dengan “merokok”. Ini pernah ku lakukan saat aku duduk dibangku SMA. Pertama kalinya aku melakukan hal itu bersama seorang wanita yang lebih tua dari ku. Aku pun tak mengerti mengapa dia melakukan hal itu. Hmm.. aku bertanya, mungkin dia hanya ingin bergaya saja?, atau kehidupan dia yang membuat dia seperti itu? Hanya dia dan Tuhan yang mengetahui hal itu. Wanita itu adalah “Kakak ku” . hahhahha… aku tak pernah menyalahkan dia. Toh, dia tidak pernah merayu ku, melainkan dengan keinginan ku saja. Kami merokok tidak dengan bekal pengetahuan cara menghirup batang rokok, asal hisap bagi ku itu sudah merokok. Merokok menjadi teman berbincang kita pada sore hari itu. Terdengar suara tangga yang berjalan. Upss.. bukan tangga yang berjalan, melainkan mama berjalan setapak melewati anak tangga. Kita bergerak dengan gesit, pecah sudah perbincangan serius kita. Mematikan rokok merupakan hal pertama yang harus dilakukan, dan kakak ku membuika jendela, hingga menghilangkan jejak. Prakkk… mama membuka pintu. Semua terhenti, hingga tak sadar raut wajah ku menjadi kaku dihadapan mama – semoga mama tidak mengetahuinya.
                Kalakuan nakal seperti itu sudah terjadi. Tak heran bagi ku, jika aku mengulangi itu kembali. Lagi-lagi aku beruntung, aku mendapatkan teman yang dapat menengur ku dengan bahasa cintanya. Salah seorang teman ku mengatakan “apa perlu aku memarahi kamu?”. Aku terdiam, aku menjadi bisu, hingga hanya gerakan kepala saja yang dapat ku perlihatkan yaitu “menggeleng”- tidak. Dengan terburu kembali membela diri dan meyakinkan bahwa “aku tidak akan merokok lagi”. Jawabannya sangat mengecewakan ku, yaitu “teori tok”. Ooohhh… Tuhan, dia sudah tidak mempercayai ku. Aku harus seperti apa agar dia kembali mempercayai ku ??? aku kembali diam. Tiba-tiba dia menganjukan jari kelingkingnya kehadapanku. Dan berkata “janji?”
Ooohhh… Tuhan, sekali lagi aku menyebut nama-MU. Dengan raut wajah yang tak meyakinkan, aku tersenyum. Bukankah akan bertambah dosa ku, jika aku mengingkari janji itu, atau dia bertambah untuk tidak mempercayai aku lagi. Pilihan yang mematikan bagi ku. Hingga akhirnya, aku tak menyetujui itu. Hmm… biarlah dia beranggap seperti apa…
Sungguh suasana yang tidak menyenangkan bagiku dan baginya. Tersentak aku memandangnya tanpa sadar. Terlihat dia dengan raut wajah penuh kecewa. Tak banyak yang ku perbuat, hanya menghibur dengan tawa tak jelas. Biarlah, anggap saja sebagai bayaran yang belum lunas untuk kecewa mu malam itu.  Nanti kamu juga akan mengetahui, dan kamu pasti tersenyum buat ku. Amiiin J
Aku baru mendapatkan message dari dia. Aku menanyakan sebuah keinginan dia untuk ku. Tidak muluk, tidak banyak dan sepertinya – bagi dia itu sangat mudah. Aku pun tak meyakini itu dapat ku raih dengan hidupku. Message-nya yaitu :
                Jangan ambekan
      Jangan egois
      Jadi diri sendiri
      Jangan banyak keinginan
      Hargai hidupmu
aku pun menjawab message-nya yaitu :
                hmm… bisa kok diatasi !
lagi – lagi dia menjawab “teori tok”. Hakssss….. harus seperti apa aku menjawabnya kembali?


-bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar